Chit-Chat

Open Cbox

coretan warna warni hidup penulisnya..

Rabu, 23 Januari 2008

Fase dan Penyebab Schizophrenia

Nah.. Temen” tenkyu abis klo lu masih setia nyimak tiap bagian dari postingan aye yang ngebahas schizophrenia… secara bahasannx banyak banget ky gini… ntu makanx aye bagi jadi beberapa bagian biar mata klian g pada jebol ngliatin perbarisnya… Klian pastinx jadi bisa ikutan berempati dunks ama masalah aye nyang kmaren ntu…
Ky yang aye curhatin di postingan aye sebelonnx.. Aye jadi munyeng” gr” ngerjain tugas schizo ini… smpe” acara malem jum’at aye ma si abang jd ancur…. Tapinya sesuey kata pepatah mah.. ada udang di balik batu, ada udang di balik bakwan… udang-udang… senengnya ngumpet aja…. (??!!) Yah ada hikmah di setiap kejadian…. Aye jadi bingung ndiri.. aye msti bersyukur krna aye jd tau gmn si abang atau aye msti sdih klo aye trnyata lg ber-halusinasi ngbrol sm si abang yg notabene ade di jakarte.. au ah!!
Tapi nyang jelas nih… Buat tmen” smuah… ni dia nih panduan buat ngerti lebih jauh bout schizophrenia diliat dari fase” ama penyebab gangguan ini klo diliat dari tiga pendekatan psikologis….




FASE-FASE SCHIZOPHRENIA

Dalam mendiagnosa seseorang adalah penderita schizophrenia, DSM IV (Davison, et al., 1994) menyatakan bahwa orang tersebut sekurang-kurangnya selama 6 bulan telah menunjukkan gejala-gejala gangguan. Dalam 6 bulan tersebut, terdapat fase aktif selama sekurang kurangnya 1 bulan, fase prodromal periode sisa sebelum fase aktif, dan fase residual periode sisa setelah fase aktif.
Pada fase prodromal, individu menunjukkan gangguan-gangguan fungsi social dan interpersonal yang progresif. Perubahan yang terjadi dapat berupa penarikan sosial, ketidakmampuan bekerja secara produktif, eksentrik, pakaian yang tidak rapi, emosi yang tidak sesuai perkembangan pikiran dan bicara yang aneh, kepercayaan yang tidak biasa, pengalaman persepsi yang aneh, dan hilangnya inisiatif dan energi.
Pada fase aktif, dimana paling sedikit selama 1 bulan, individu mengalami simptom psikotik, yaitu halusinasi, delusi, pembicaraan dan tingkah lakunya yang tidak teratur, dan terdapat tanda-tanda penarikan diri.
Pada fase residual, terdapat simptom seperti fase sebelumnya, tetapi tidak parah dan tidak mengganggu (Martaniah, 1999).

PENYEBAB GANGGUAN SCHIZOPHRENIA

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab Schizophrenia, yaitu pendekatan biologis (meliputi faktor genetik dan faktor biokimia), pendekatan psikodinamik, pendekatan teori belajar.

I.1 PENDEKATAN BIOLOGIS
1. Faktor Genetik Seperti halnya psikosis lain, schizophrenia nampaknya cenderung berkembang lewat keluarga. Penelitian terhadap munculnya schizophrenia dalam keluarga biasanya diadakan dengan mengamati penderita schizophrenia yang ada di rumah sakit jiwa dan kemudian meneliti tentang perkembangan kesehatannya serta mencari keterangan dari berbagai pihak untuk menentukan bagaimana schizophrenia dan psikosis lainnya muncul di antara keluarga penderita. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa resiko timbulnya psikosis, termasuk schizophrenia, sekitar empat kali lebih besar pada hubungan keluarga tingkat pertama (saudara kandung, orang tua, anak kandung) dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya (Rathus, et al., 1991). Semakin dekat hubungan genetis antara penderita schizophrenia dan anggota keluarganya, semakin besar kemungkinannya untuk terkena schizophrenia. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan terkena schizophrenia dapat ditularkan secara genetis. Keluarga penderita schizophrenia tidak hanya terpengaruh secara genetis akan tetapi juga melalui pengalaman sehari-hari. Orang tua yang menderita schizophrenia dapat sangat mengganggu perkembangan anaknya. Hal ini menimbulkan persoalan
tentang mana yang lebih berpengaruh : genetis atau lingkungan. Untuk membedakan hal tersebut, para ahli mengusahakan suatu penelitian terhadap anak kemabar (Sue, et al.,1986 dan Davison et al., 1994, serta Rathus, et al., 1991). Kembar identik (monozygotic) adalah sama/identik secara genetis, karena itu perbedaan antara anak kembar identik kiranya dapat dihubungkan dengan perbedaan dalam lingkungan mereka. Jika mereka dibesarkan bersama, maka kembar identik sama-sama mengalami, baik lingkungan yang sama maupun genetis yang sama. Di pihak lain, kembar yang tidak identik meskipun lahir pada saat yang hampir bersamaan tetapi secara genetis mereka sama halnya dengan dua orang saudara kandung. Jika kembar tidak identik dibesarkan bersama, mereka akan sama mengalami lingkungan yang sama tetapi latar belakang genetisnya hanya identik sebesar 50%.
Dalam penelitian terhadap anak kembar secara umum, tingkat kemungkinan terkena schizophrenia di antara anak kembar identik adalah sekitar dua atau empat kali lebih tinggi daripada antara anak kembar yang tidak identik. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh faktor genetis. Akan tetapi, dalam suatu penelitian terhadap kembar identik lainnya ternyata menunjukkan bahwa tidak satupunh dari anak yang kembarannya terkena schizophrenia yang juga menderita schizophrenia. Dengan demikian, usaha untuk membedakan pengaruh genetis dan pengaruh lingkungan masih kabur. Hasil penelitian terhadap anak kembar belum dapat membedakan pengaruh genetis dan pengaruh lingkungan karena anak kembar biasanya dibesarkan bersama. Oleh karena itu, apabila anak yang orang tuanya menderita schizophrenia juga menderita schizophrenia maka ada tiga kemungkinan jawaban : ibu atau ayah yang menderita schizophrenia mungkin menularkannya secara genetis, atau anak hidup dalam lingkungan tertentu yang diciptakan oleh orang tua, atau anak itu menderita schizophrenia akibat dari faktor genetik dan lingkungan yang menekan.
Untuk membedakan akibat gen dan akibat lingkungan tersebut, diusahakan berbagai penelitian terhadap sekelompok anak yang lahir dari ibu yang menderita schizophrenia tetapi dipisahkan dari ibunya setelah dilahirkan sehingga tidak ada kontak dengan ibunya (Sue, et al., 1986; Rathus, et al., 1991; dan Davison, et al., 1994). Anak-anak tersebut kemudian diadopsi oleh keluarga lain. Kelompok lainnya terdiri dari anak-anak yang lahir dari ibu yang normal dan juga diadopsi oleh keluarga lain. Dari kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang terkena schizophreni, ternyata 5 orang menderita schizophrenia dan beberapa lainnya menderita psikosis lainnya, sedangkan kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang normal, tidak seorangpun yang terkena schizophrenia. Hal ini mendukung pendapat bahwa schizophrenia lebih besar kemungkinannya ditularkan secara genetis. Hasil ini juga didukung oleh beberapa penelitian lain (Rathus, et al., 1991), yaitu bahwa anak-anak dari orang tua schizophrenia mempunyai kemungkinan terkena schizophrenia dua kali lipat dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang normal, entah mereka dibesarkan oleh orang tua angkat yang menderita schizophrenia maupun tidak. Singkatnya hubungan biologis atau genetis dengan penderita schizophrenia nampaknya merupakan faktor yang paling menyolok untuk menimbulkan schizophrenia.
Beberapa penelitian tersebut menunjukkan pengaruh faktor genetis dalam menularkan schizophrenia, namun tetap menjadi pertanyaan : Bagaimana penularan genetis terjadi? Beberapa peneliti mencoba hal itu dengan berbagai model (Rathus, et
al., 1991), antara lain :
a. Distinct Heterogenity Model.
Model ini menyatakan bahwa schizophrenia terdiri dari sejumlah psikosis, beberapa diantaranya disebabkan oleh kerusakan gen yang dapat diikuti oleh gen-gen tertentu dan yang hanya disebabkan oleh faktor lingkungan. Schizophrenia catatonic, misalnya, mungkin merupakan penyakit yang muncul secara genetis yang akhirnya diikuti ketidaknormalan gen pada kromosom tertntu.
b. Monogenic Model.
Model ini menyatakan bahwa semua bentuk schizophrenia dapat disebabkan oleh suatu gen yang cacat. Gen yang cacat ini akan menyebabkan schizophrenia pada orang yang menerima gen itu dari kedua orang tuanya (monozygote), namun kemungkinannya kecil bila hanya dari satu orang tua (heterozygote).
c. Multifactorial-Polygenic Model.
Model ini menekankan pengaruh nilai ambang. Menurut model ini, schizophrenia disebabkan oleh pengaruh berbagai gen, trauma biologis prenatal dan postnatal dan tekanan psikososial yang saling berinteraksi. Aspek schizophrenia muncul bila faktor-faktor itu berinteraksi melebihi batas ambang tertentu. Model-model lainnya mengkombinasikan ciri-ciri dari ketiga model tersebut. Schizophrenia, misalnya, muncul sebagai akibat dari interaksi gen tunggal dan tekanan lingkungan. Model Multifactorial-Polygenic nampaknya lebih banyak diterima.


2. Faktor BioKimia
Kraeplin (Sue, et al., 1986) telah mengidentifikasikan schizophrenia sebagai akibat dari adanya ketidakseimbangan kimiawi karena tidak normalnya kelenjar kelamin. Sementara Carl Jung (Davison, et al., 1994) menyebutkan adanya unsur kimia yang tidak diketahui, yang disebutnya "toxin x". Adanya indikasi pengaruh factor genetis setidaknya menunjukkan adanya pengaruh faktor biokimia karena faktor genetic terjadi melalui proses biologis dan kimiawi tubuh. Para peneliti lain menemukan adanya substansi kimia yang tidak normal yang disebut taraxein dalam serum darah (Sue, et.al., 1986).
Riset terakhir difokuskan pada dopamine, suatu neurotransmitter yang aktif di wilayah otak yang terlihat dalam regulasi emosi atau sistem limbik (Atkinson, et al.,1992). Hipotesis dopamine menyatakan bahwa schizophrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya penerimaan dopamine dalam otak. Kelebihan ini mungkin karena produksi neurotransmitter atau gangguan regulasi mekanisme pengambilan kembali yang dengannya dopamine kembali dan disimpan oleh vestikel neuron parasimpatik.
Kemungkinan lain adalah adanya oversensitif reseptor dopamine atau terlalu banyaknya respon dopamine (sue, et al., 1986; Atkinson, et al., 1992; Rathus, 1991).
Penelitian terhadap pengaruh dopamine dilakukan dengan menggunakan 3 macam obat bius, yaitu phenothiazine, L-Dopa, dan amphetamine. Phenothiazine merupakan obat anti psikosis yang dapat mengurangi tingkat kekacauan pikiran, halusinasi, dan memperbaiki suasanan hati penderita schizophrenia. Terdapat bukti kuat bahwa phenophiazine mengurangi aktifitas dopamine dalam otak dengan menghambat penerimaan dalam saraf parasimpatik. L-Dopa biasa digunakan untuk pengobatan gejala-gejala penyakit parkinson. Tubuh akan mengubah L-Dopa ini menjadi dopamine dan kadang-kadang menyebabkan gejala-gejala seperti schizophrenia (Sue, et al. 1986). Sementara amphetamine merupakan obat perangsang yang meningkatkan kemampuan dopamine dalam otak. Pemberian amphetamine dalam dosis yang berlebihan ternyata menunjukkan gejala-gejala seperti schizophrenia. Jika penderita schizophrenia diberi amphetamine, meski dalam dosis rendah, ternyata gejala-gejala schizophrenianya semakin memburuk. Dengan demikian, obat yang dapat menghambat penerimaan dopamine (seperti phenothiazine) dapat mengurangi gejala-gejala schizophrenia, sementara obat lain yang meningkatkan kemampuan dopamine (seperti amphetamine dan L-Dopa) dapat menyebabkan atau memperburuk gejala-gejala schizophrenia. Hal ini memperlihatkan bahwa kelebihan dopamine dapat menyebabkan gejala-gejala schizophrenia. Akan tetapi penemuan ini belum seluruhnya tepat. Pemberian phenothiazine terhadap penderita schizophrenia memperlihatkan bahwa seperempat dari mereka memberi respon yang sangat kecil atau tidak sama sekali, bahkan seperempatnya memberikan respon negatif. Sementara, sepertiga penderita yang diberi amphetamine tidak mengalami gejala yang makin memburuk. Hal ini memperlihatkan bahwa seharusnya ada penyebab lain selain dari kelebihan dopamine (Sue, et al., 1986).
Perlu disadari bahwa schizophrenia merupakan sekelompok psikosis dengan efek yang bermacam-macam. Teori dopamine perlu dicermati secara hati-hati karena mungkin terlalu sederhana dalam mencari penjelasan dengan memusatkan persoalan hanya pada aktifitas dopamine semata tanpa memperhitungkan interaksi fungsi otak dengan sistem biokimia secara menyeluruh. Penyumbatan dopamine mungkin mempengaruhi gejala-gejala schizophrenia, tetapi tidak menjadi penyebab munculnya penyakit tersebut. Perubahan aktifitas dopamine mungkin terjadi setelah munculnya psikosis dan bukan sebelumnya (Sue, et al., 1986 dan Davison, et al., 1994).

3. Otak
Sekitar 20-35% penderita schizophrenia mengalami beberapa bentuk kerusakan otak (Sue, et al., 1986). Penelitian dengan CAT (Computer Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imagins) memperlihatkan bahwa sebagian penderita schizophrenia memiliki ventrikel serebral (yaitu ruangan yang berisi cairan serebrospinal) yang jauh lebih besar dibanding dengan orang normal. Itu berarti jika ventriker lebih besar dari normal, jaringan otak pasti lebih kecil dari normal. Pembesaran ventrikel berarti terdapat proses memburuknya atau berhentinya pertumbuhan jaringan otak. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa lobus frontalis, lobus temporalis, dan hipokampus yang lebih kecil pada penderita schizophrenia (Atkinson, et al., 1992). Penelitian dengan PET (Positron Emission Topography, yaitu pengamatan terhadap metabolisme glukosa pada saat seseorang sedang mengerjakan tes psikologi, pada penderita schizophrenia memperlihatkan tingkat metabolisme yang rendah pada lobus frontalis. Kelainan syaraf ini dapat pula dijelaskan sebagai akibat dari infeksi yang disebabkan oleh virus yang masuk otak. Infeksi ini dapat terjadi selama perkembangan janin. Akan tetapi, jika kerusakan otak terjadi pada masa awal perkembangan seseorang, pertanyaan yang muncul adalah mengapa psikosis ini baru muncul pada masa dewasa. Weinberger (dalam Davison, et al., 1994) mengatakan bahwa luka pada otak saling mempengaruhi dengan proses perkembangan otak yang normal. Lobus frontalis merupakan struktur otak yang terlambat matang, khususnya pada usia dewasa. Dengan demikian, luka pada daerah tersebut belum berpengaruh pada masa awal sampai lobus frontalis mulai berperan dalam perilaku.

I.2 PENDEKATAN PSIKOANALISA

Menurut Freud kepribadian terdiri atas 3 sistem atau aspek, yaitu : id, ego dan super ego (Suryabrata, 1988 : 125). Id merupakan unsur landasan dasar, dan paling penting dari ketiganya, karena merupakan sumber dari energi psikis, yang berasal dari insting-insting biologis manusia. Insting-insting yang paling penting adalah insting seksual dan insting agresi. Kedua insting tersebut yang banyak membimbing perilaku manusia. Ego merupakan proses kepribadian yang logis dan mempunyai kegunaan yang mempermudah transaksi/perbuatan manusia menguasai alam lingkungannya. Ego mencakup kemampuan merencanakan, memecahkan masalah, dan menciptakan bermacam-macam teknik untuk menguasai dunia sekitarnya. Selain itu, ego juga harus mampu mengendalikan impuls-impuls manusia, karena ekspresi hiperaktif dari impuls-impuls seks dan dorongan-dorongan agresi bisa mencelakakan manusia dan sekelilingnya. Dengan demikian, ego berfungsi mengintegrasikan impuls-impuls seks dan agresinya dengan dunia luarnya. Superego merupakan konsep yang melambangkan internalisasi dari nilai-nilai orang tua oleh diri anak, yaitu berupa nilai-nilai yang ditanamkan dengan sangsi hukuman jika dilanggar dan mendapatkan hadiah jika dipatuhinya.
Pertimbangan antara id dan superego seringkali tidak seimbang dan menimbulkan konflik. Apabila ego berfungsi dengan baik, maka situasi konflik tersebut akan dapat dikendalikan dan diselesaikannya secara adekuat. Sementara jika ego lemah, maka situasi konflik tersebut tidak akan dapat diselesaikannya, dan akan timbul banyak konflik internal atau bahkan konflik yang sifatnya sangat hebat, yang diekspresikannya dalam bentuk tingkah laku yang abnormal. Jika superego-nya dominan dan bersifat sangat moralistis, biasanya individu justru akan kurang mampu menanggapi insting seksual dan agresinya, sehingga individu akan mengembangkan pola rasa bersalah, penuh dosa, dan penyesalan yang kronis sifatnya, serta dibarengi dengan simptom kelelahan dan kebingungan.
Perkembangan kepribadian individu menurut Freud (dalam Kartono, 1989 : 21) akan sangat ditentukan oleh perkembangan psikoseksual dimasa kanak-kanaknya. Apabila anak terus-menerus mengalami frustasi, mendapatkan perlakuan kejam, dan tidak mendapatkan cinta kasih, atau sebaliknya terlalu dimanjakan secara berlebih-lebihan, ia akan mengalami keberhentian dan kerugian dalam perkembangan kepribadiannya, yang disebut dengan proses fiksasi. Anak akan mengembangkan bermacam-macam sikap yang immature atau tidak matang dan tingkah laku yang abnormal. Pola kepribadian yang demikian tidak jarang terus berlarut-larut dan dapat menjadi predisposisi terjadinya gangguan abnormalitas perilaku dimasa berikutnya.
Pada schizophrenia, pola kepribadian immature yang berkaitan dengan impuls seksual dan agresi merupakan predisposisi untuk menimbulkan gangguan tersebut. Berkembangnya gangguan schizophrenia lebih lanjut biasanya diawali oleh apa yang disebut sebagai precipitating event atau peristiwa pencetus. Dalam menghadapi peristiwa pencetus tersebut, melalui pola kepribadian yang immature, individu mengembangkan defence mechanism yang berlebihan, dimana individu akan mengembangkan pola penyelesaian masalah yang tidak berhubungan dengan realita yang ada, yang sampai akhirnya antar aspek-aspek kepribadian terjadi disintegrasi atau terpecah. Kondisi tersebut, menyebabkan putusnya hubungan antara individu dengan dunia nyata. Dalam hal ini terjadi beberapa defence mechanism yang saling berbenturan secara bersamaan. Misalnya, pada mulanya individu menggunakan mekanisme pertahanan rasionalisasi. Kemudian, rasionalisasi tersebut direpressnya. Kemudian, individu mengungkapkan hal yang berlawanan dengan perasaan yang direpressnya melalui reaksi formasi. Oleh karena itu, simptom delusi dan halusinasi yang dikembangkan oleh schizophrenia merupakan defence terhadap defence yang lain (defence againts a defence).

I.3 PENDEKATAN TEORI BELAJAR
Para ahli teori belajar, seperti Ullmann dan Krasner (dalam Davison et al., 1994), menerangkan tingkah laku schizophrenia sebagai hasil proses belajar lewat pengkondisian dan pengamatan. Seseorang belajar untuk "menampakkan" tingkah laku schizophrenia bila tingkah laku demikian lebih memungkinkan untuk diperkuat daripada tingkah laku yang normal. Teori ini menekankan nilai penguatan stimulasi sosial. Schizophrenia mungkin muncul oleh karena lingkungan tidak memberi penguatan akibat pola keluarga yang terganggu atau pengaruh lingkungan lainnya sehingga seseorang tidak pernah belajar merespon stimulus sosial secara normal. Bersamaan dengan itu, mereka akan semakin menyesuaikan diri dengan stimulus pribadi atau idiosinkratis. Selanjutnya, orang-orang akan melihat bahwa mereka sebagai orang aneh sehingga mengalami penolakan sosial dan pengasingan yang akan semakin memperkuat tingkah laku yang aneh. Perilaku aneh ini akan semakin bertahan karena tidak ada penguatan dari orang lain berupa perhatian dan simpati.
Pandangan tersebut didukung oleh pengamatan dengan pengkondisian operan. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa perilaku yang aneh dapat dibentuk melalui proses penguatan. Akan tetapi fakta ini belum dapat memperlihatkan apakah tingkatan perilaku yang aneh pada schizophrenia dapat dijelaskan melalui penmgalaman belajar. Selain itu, fakta lain menunjukkan bahwa beberapa orang yang hidup dalam lingkungan yang keras dan tertekan tetapi tidak menarik diri ke dalam dunia khayalannya dan tidak bertingkah aneh. Beberapa penderita schizophrenia bahkan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mendapat dukungan sosial. Teori belajar sosial menerangkan bahwa gejala-gejala schizophrenia terjadi dalam lingkungan rumah sakit jiwa. Dalam lingkungan tersebut, penderita belajar dengan mengamati perilaku pasien lain dan mengikutinya. Hal ini diperkuat lagi oleh petugas yang memberi perhatian khusus pada penderita yang berperilaku aneh. Pandangan ini sesuai dengan pengalaman di sekolah dimana guru memberi perhatian khusus justru pada anak yang nakal. Barangkali beberapa perilaku schizophrenia dapat diterangkan dengan peniruan dan penguatan, akan tetapi banyak orang menderita schizophrenia tanpa lebih dahulu bertemu dengan penderita lainnya. Selain itu, kenyataannya justru gejala-gejala schizophrenialah yang menyebabkan seseorang dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan bukannya akibat yang diperoleh di dalam rumah sakit jiwa.


Yupz! Gitu dah jabarannx… Berhubung ni tugas aye kerjain taon kemaren… yah abis lebaran 2007 kemaren lah aye presentasiin di kelas… Ada ga nih yang mo update brita yg berkaitan ama penyebab schizo klo diliat dari sisi biologis… Ky yang lu pada baca tadi.. kan masih banyak tuh kesimpang-siuran berita… kali aja ada inpo terbaru gitu… aye minta tolong yah… Klo ada yang mo nanya ato g sependapat ntar aye ladenin juga dah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar